Sabtu, 14 Juni 2014

Dear Kamu

0 komentar
Aku merasa kamulah yang terbaik, dan jika aku kehilangan kamu, apakah bisa aku dapatkan yang lebih baik dari kamu?


Dear kamu,
Aku tau dan aku sadar kok, kalau aku bukanlah yang terbaik buat kamu. Tapi andai saja kamu tau dan kamu menyadarinya kalau aku sudah berusaha sekeras, sehebat mungkin untuk jadi yang terbaik buat kamu, untuk jadi apa yang kamu mau. Tau enggak kamu, kalau aku enggak pernah punya niat sedikitpun untuk menyakiti kamu. Tau enggak kamu, saat kamu ucapin kata-kata yang menyakiti perasaanku, aku hanya bisa terdiam dan memendam dalam hati? dan aku bertanya, "kenapa aku bisa sesayang ini sama kamu?"

Sebesar apapun, sesakit apapun kamu menyakiti aku, itu enggak akan mengurangi rasa sayang aku ke kamu? Kamu tau kenapa?
Karena rasa sayang aku ke kamu, melebihi rasa sakit yang aku rasain karena kamu. Pernah enggak kamu berfikir untuk mengerti perasaan aku? Pernah enggak ada niat buat sayang sama aku? Pernah enggak ada niat untuk berhenti menyakiti aku? Enggak kan?
Tapi aku tetap merasa kamulah yang terbaik. Kamulah makhluk yang aku cari selama ini, yang sangat langka masuk dalam kehidupanku. Semoga kamu mengerti, sayang. :) :(


Untuk kamunya aku, semoga kamu baik-baik aja sayang.

Rabu, 11 Juni 2014

Aku tidak ingin cemburu

4 komentar
Ku ingin menyerah, tapi tak menyerah.
Mencoba lupakan tapi ku bertahan. - Pemilik Hati

"Mas, ini foto siapa? kok kamu nyimpen banyak? mantan kamu kan ini?"
"Foto yang mana sih? Oh bukan, itu semalem temenku yang nyimpen. Itu punya dia"

Deg. Itu jawaban tidak jujur yang sudah jelas aku tahu kebenarannya. Sakit. Nyesek. Gatau mau ngomong apa. Mau nangis tapi ga memungkinkan. Diam saja. Iya. Cuma itu yang memang bisa aku lakuin saat itu. Ga bisa protes. Kaku. Kelu.

Hati ini cuma sebongkah,
bisa patah,
bisa pecah,
bisa lelah,
bisa menyerah.

Setengah mati aku bertahan untukmu, setengah hati dia memperjuangkan.
Sudah ingin rasanya aku menyerah, mundur. Tapi aku ga pernah rela. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Mencintai mu sama halnya mengerti sakit secara sempurna. Sakit karena kamu ga mudah dipertahanin. Sakit karena kamu susah diperjuangin. Masih ada sosok "dia" masa lalumu yang menjadi bahagiamu.
Memang si ga mudah menjadi seperti apa yang kamu minta, tapi aku sudah berusaha mencoba jadi yang terbaik, meski kamu ga pernah melihatnya.Ga pernah tau ataupun mau tau. 

"Dia Eropa, Aku Jawa" -- Kata kamu
Jauh. Kontras. Aku bak sudra dalam urutan kasta, sementara dia entah waisya atau brahmana.
Atau, Apa aku perlu menjelma menjadi seperti sosok di masa lalunya? Agar Jawa ini bisa menjadi seperti halnya Eropa. Eropa yang bisa dikagumi banyak orang di penjuru dunia? Namun, Jawa tetaplah Jawa dengan kebanggaannya yang tak mungkin dimiliki Eropa atau negara lain didunia.
Sakit? Banget.
Nangis? Iya.
Nyerah? Hampir.
Putus asa? Belum.
Karena aku mencintaimu, sikap buruk yang kamu miliki seakan pudar. Yang aku tahu, aku hanya ingin memperjuangkan dan membahagiakanmu. *OSH

Surat untuk Mantan

0 komentar
"Amarah itu mematikan hati dan melukai, menutup maaf, dan menciptakan benci." - Still


Teruntuk: Yang pernah menjadi bagian hidupku

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Gimana kabar kamu sekarang? Semoga Allah selalu memberikan kebaikan, kebahagiaan, ketenangan dalam hidup kamu. Kabar aku baik-baik aja sekarang. Ahh, tapi seharusnya aku tak perlu mengatakannya padamu, toh kamu tak menanyakannya juga kan?

Sebelumnya aku minta maaf, karena aku sudah lancang buat nulis ini padamu. Sungguh, sama sekali aku engga ada maksud sedikitpun buat ganggu ketentraman hidupmu lagi. Sepenuhnya aku menyadari kalau kita sudah tak lagi seperti dulu, dan tak akan bisa seperti dulu lagi. Memang sih, terkadang aku masih merindukanmu, merindukan masa lalu, tapi itu cuma sebatas rindu, dan bukan ingin memutar waktu. Terus, kamu jangan berpikiran aku tengah menangis saat surat ini ku tulis yaah, karena sekarang bahagia, meskipun aku tak bisa mengelak kalau masih ada luka yang tersisa. Tapi sungguh, luka itu tak lagi menyakitiku. Luka itu menguatkanku. Aku tak lagi menangis saat namamu disebut. Aku tak lagi merasa kosong saat melewati sudut-sudut penuh kenangan. Jika ada satu atau dua bulir air matamembayang, itu hanya karena aku tidak benar-benar dapat membuang kenanganmu. Dan kupastikan kemarin adalah hari terakhir aku menangisimu, memikirkanmu, dan merindukanmu.

Sempat terlintas juga, kenapa aku membencimu. Meski aku tahu kalau itu bukan tanpa sebab. Aku membencimu karena dulu aku mencintaimu. Lucu memang. Bodoh. Tapi kau juga sama seperti aku, membenci aku yang dulu dengan hadirmu mampu memberi warna dalam hidupmu. Aku tak menyalahkan siapapun dengan keadaan ini. Mungkin, dulu kita hanya terjebak dalam keegoisan masing-masing hingga harus berakhir dengan perpisahan. Kau tahu, Amarah itu mematikan hati dan melukai, menutup maaf, dan menciptakan benci. Harusnya, kita tak perlu seperti ini. Kita sudah sama-sama dewasa. Kau ingat kan, awalnya kita saling mengenal dengan cara yang baik, memulai hubungan dengan baik-baik juga, apa harus kita berakhir dengan seperti ini? Harusnya kita bisa membuat akhir yang baik juga kan? Tanpa ada luka, tanpa ada kecewa. Berawal dari teman dan kembali lagi menjadi teman. bukankah itu suatu kedewasaan?

Oh iya, aku juga mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan kamu. Terima kasih atas canda, tawa, dan luka yang kau berikan. Terima kasih juga, karena kamu aku bisa jauh lebih kuat dan jauh lebih tegar. Aku bahagia bisa mengenalmu. Meski akhirnya tidak bahagia, setidaknya kita pernah tertawa bersama. Maaf jika aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu. Semoga kau selalu bahagia.

Wassalam,
Dari yang pernah mencintaimu




 #Yeyaii, ini sebenarnya late post, dibuat pas jaman aku semester 2, sekarang hampir semester 5 :)

Kamis, 30 Januari 2014

Ketika Aku Kecewa

0 komentar
Bismillah,
Assalamu'alaikum wr.wb.

Pernah merasa kecewa? ya...saat inilah apa yang saya rasakan saat ini. Bagaimana setelah kita usaha tetapi hasilnya tidak sesuai yang kita harapkan. 
Menangis? | iyaa, pasti...
Putus asa? | hampir...
 
Astaghfirullah, coba lihat diri kita kedalam lagi, intropeksi kedalam diri kita lebih dalam lagi. Apakah usaha kita sudah maksimal? Apakah kita sudah melakukan yang terbaik? Mungkin kita menganggap sudah maksimal, menganggap kita lebih pantas mendapat yang lebih baik dari itu, menganggap kita lebih berhak diatas yang lain, tapi apakah benar kita pantas mendapatkan itu?

YaAlloh...
Aku benar-benar sudah kufur atas segala nikmat yang Kau berikan. Tidak pernah merasa puas atas apa yang telah menjadi jalanku, mengeluh yang tidak seharusnya aku lakukan, tidak bisa menerima kenyataan apa :(

"Allah tidak akan membebankan seseorang.., melainkan sesuai dengan kemampuannya...." (QS. Al-Baqarah, ayat 286)

Padahal, Alloh itu selalu memberikan rencana yang jauh lebih indah dibalik setiap kekecewaan kita. Astagfirullah,
padahal yang terbaik menurutku belum tentu terbaik menurut Alloh dan inilah jalan yang harus aku nikmati, menyesalpun percuma. ^.^

"Aku harus menikmatinya, dan aku tak boleh larut dalam kekecewaan berlama-lama, kecewa, dongkol, sakit hati tak akan merubah apapun selain menyengsarakan diriku sendiri, dongkol begini, tak dongkol juga tetap begini"

 Selalu ingat, bahwa Alloh itu tidak akan pernah membiarkan kita bersedih. Akan ada pelangi setelah badai, akan ada cahaya setelah gelap. Never give up, semangat. ^_^

“Laa tahzan, Innallaaha ma’ana..” (Q.S. at-Taubah: 40)

Sabtu, 13 Oktober 2012

[ISLAM] Jilbab = Kerudung ???

0 komentar
Bismillahirrohmanirrahim
Assalamu'alaikum wr.wb

Di Indonesia, pemeluk agama islam tuh terbesar loo, berati kalo gitu yang pakai jilbab atau kerudung juga banyak dong ya ?? :) Harusnya sih memang begitu, tetapi semuanya tergantung kepada cara masing-masing orang memandang. Btw, sering dengar kan orang bilang kalau jilbab itu kerudung dan kerudung itu jilbab ? :O
Apakah memang keduanya sama ? Atau gimana ? :3
Pembaca yang budiman, Jilbab dan kerudang pada dasarnya berbeda.
Jilbab adalah pakaian muslimah yang menutupi auratnya secara sempurna dari ujung rambut-nya hingga telapak dan jari kakinya, pakaian yang longgar sehingga tidak nampakkan lekuk indah tubuhnya. Sedangkan,
Kerudung atau kudung, yang dalam bahasa arabnya khimar (jamak: khumuur) adalah bagian dari jilbab, yakni kain yang menutup rambut, telinga, leher, punggung dan dada.
Ditengah masyarakat khususnya Indonesia (^..^), Jilbab disini kebanyakan diartikan sebagai kerudung, jadi meskipun bawahnya pakai legging dan T-shirt yang ekstra ekstra ketat asalkan dia sudah memakai penutup kepala, dia sudah menganggap dirinya berjilbab.  Padahal, ini jelas bertentangan dengan apa yang diajarkan islam. Coba deh kita perhatikan firman Allah dan tafsirnya sebagai berikut:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

[1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Nah, sekarang kita udah tau ya, apa perbadaan jilbab dan kerudung. Jadi seribet apapun kita berkerudung jika kita tidak berjilbab itu tetap tidak syar'i. Kita perbaiki pelan-pelan ya. Niatkan untuk Allah. Karena memakai jilbab itu aurat. :)

"Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk-MU ya Allah"


Senin, 24 September 2012

Batu Besar Dalam Hidup

0 komentar
Sesuatu untuk dipikirkan...
Beberapa waktu lalu aku sedang membaca sebuah artikel seorang ahli di bidang manajemen waktu. Suatu hari si ahli ini berbicara di depan sekumpulan mahasiswa bisnis dan untuk mengungkapkan suatu poin, ia menggunakan sebuah ilustrasi yang tak akan pernah dilupakan mahasiswa itu. Setelah aku membagikannya pada kamu, kamu juga tak akan melupakannya.
Saat orang ini berdiri di depan sekumpulan para mahasiswa pintar dan berprestasi ia berkata, “Oke, saatnya kuis.” Ia kemudian membawa sebuah galon air, sebuah guci besar dan menatanya di sebuah meja di depannya. Ia melanjutkannya dengan membawa satu lusin batu berukuran kepalan tangan dan dengan hati-hati memasukkannya satu per satu ke dalam guci tersebut.
Saat guci tersebut terisi sampai ke atas dan tidak ada lagi batu yang muat di dalam, ia bertanya, “Apakah guci ini sudah penuh?” Setiap orang di kelas berkata, “Ya.” Kemudian ia berkata, “Benarkah?” Ia menunduk dan mengambil satu ember kerikil. Kemudian ia menumpahkan beberapa kerikil ke guci dan mengguncang-guncangkannya, menyebabkan kerikil tersebut berhasil menempati ruang-ruang di antara batu-batu. Ia tersenyum dan bertanya sekali lagi, “Apakah guci ini sudah penuh?”
“Mungkin belum,” salah satu mahasiswa menjawab. “Bagus!” ia menyahut. Dan kemudian ia menunduk lagi dan mengambil satu ember pasir. Ia mulai menumpahkan pasir dan pasir itu mengisi ruang kosong di antara batu dan kerikil. Sekali lagi ia bertanya, “Apakah guci ini sudah penuh?” “Belum!” Kelas itu serentak menjawab. Sekali lagi ia berkata, “Bagus!” Kemudian ia mengambil satu kendi berisi air dan mulai menuangkannya ke dalam guci sampai meluap. Ia melihat para mahasiswa dan bertanya, “Apa poin dari ilustrasi ini?”
Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, “Poinnya adalah, tidak peduli seberapa penuh jadwalmu, jika kamu berusaha dengan keras, kamu akan selalu bisa memasukkan beberapa kegiatan lain ke dalamnya!” “Bukan,” pembicara itu menjawab, “Bukan itu poinnya. Yang sebenarnya diajarkan ilustrasi ini adalah: Jika kamu tidak memasukkan batu besar pertama kali, kamu tidak akan pernah bisa memasukkan semuanya.”
Apa batu besar dalam hidupmu? Sebuah proyek yang ingin kamu selesaikan? Waktu untuk bersama orang yang kamu cintai? Sebuah tugas berat? Sebuah pekerjaan yang sulit? Ingatlah untuk memasukkan batu-batu besar ini pertama kali, atau kamu tidak akan pernah bisa memasukkan semuanya.

"Kisah Nyata Bapak Tua Penjual Amplop"

1 komentar
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas di lihat, barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat.

Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusan plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih.

Astaga, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp 7.500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp 250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu.

Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp 10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis.

Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini : “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.

Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka semoga saja perbuatan baik kita dapat berbuah menjadi suatu akibat yang baik pula, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Oleh : Rinaldi Munir, Bandung
 

My Lost Story Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template