Setelah
peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura
kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura.
Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya,
ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana
sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga
bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan
kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih
sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat
nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah
sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.
Dan
akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam.
Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan.
Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya.
Karena
rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga
ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana
berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan
tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no pinnya sama dengan
tanggal pernikahan kita”.
Setelah
Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku
tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot,
harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah
terbiasa saat kuliah di Mesir. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa
Raihana.
Suatu
saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar
lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu
terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas,
bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku,
lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.
Malam
itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan
sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan
terlambat sholat subuh.
Baru
sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya,
dan tidak terlambat sholat subuh. Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan
mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti
pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah
professor bahasa arab dari Mesir.
Aku jadi
banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dariMedan . Dia
menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang
menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari
“Apakah
kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.
“Alhamdulillah,
sudah” jawabku.
”Dengan
orang mana?”.
”Orang
Jawa”.
” Pasti orang yang baik ya. Iya kan ?
Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan
perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari
pesantren?”.
“Pernah,
alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.
“Kau
sangat beruntung, tidak sepertiku”.
”Kenapa
dengan Bapak?”
”Aku
melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir
itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.
”Bagaimana
itu bisa terjadi?”.
”Kamu
tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik,
dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke
Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya
waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup
sulit bagi pelajar dari Indonesia .
Demikian
juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal
menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia
tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah
melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun
kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta
saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan
anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih
yang kedua.
Ketika
saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama
menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal
Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin
yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya.
Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.
Yasmin
menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah,
menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali keMedan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di
Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan .
Tahun-tahun
pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir
menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin.
Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir,
tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa.
Aku
mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah
terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul
penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan
tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah
dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka
dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu
dengan masakan Indonesia .
Kau tahu
sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada
sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai
setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual
perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup
serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya
menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko
yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup
untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin
mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang
menyakitkan. ”Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia , aku
minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”.
Kata
Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa
tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi
bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan
dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri.
Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak
satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak
saat itu saya mengalami depresi.
Dua
bulan yang lalu saya mendapat suratcerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengann temannya. Hati saya
sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.
Mendengar
cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku.
Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah
dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap
dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan
yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku
mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi
wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana
sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi
melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan
tabungannya.
Pulang dari
pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin membelikannya untuk
Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan,
agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke
rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan
dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku
berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku
belum pernah membuat surat cinta untuk istriku.
Jangan-jangan ini surat cinta
istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.
Dengan
rasa takut kubaca surat
itu satu persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati
Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian
mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan
nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap
melabuhkan dukanya. Dan ya . Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk
kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba
bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al
Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah
terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran
dalam diri hamba” tulis Raihana. Dalam akhir tulisannya Raihana
berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang
kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita
jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh
derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku
dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang
apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika
memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang
lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan
murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah
dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba
kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu
bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini
kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah
doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci
Engkau”.
Tak
terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa.
Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya
yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya,
suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya
terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina
sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona
Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang
dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya
Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera
kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana.
Kukebut
kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang
jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan
dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku
memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.
”Mana
Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa
sebenarnya yang telah terjadi. ” Raihana istrimu..istrimu dan anakmu yang
dikandungnya”.
”Ada apa dengan dia”.
” Dia
telah tiada”.
” Ibu
berkata apa!”.
”Istrimu
telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal,
dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya
selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia.
Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau
meridhionya”.
Hatiku
bergetar hebat. ” Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “Ketika Raihana
dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah
kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang
mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan
agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan
ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami”.
Aku
menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta
Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah
meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah
meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan
tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan
bersalah tiada terkira.
Ibu
mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir
desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana
tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan
yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.
Potongan dari Novel :